Jakarta –
Kepolisian Republik Indonesia Di gencar-gencarnya melakukan razia Di truk yang kelebihan dimensi dan muatan alias truk ODOL (Over Dimension Over Loading). Meski tujuannya baik, penertiban truk ODOL tidak bisa dilakukan secara instan lantaran melibatkan berbagai pihak dan banyak kepentingan. Ini akar masalah truk ODOL.
Seperti dijelaskan pemerhati transportasi Muhammad Akbar, penertiban truk ODOL tak bisa dilakukan secara sekaligus. Perlu pendekatan bertahap yang Mengkaji karakteristik setiap Barang Dagangan, struktur biaya Pengiriman, serta dampaknya Di stabilitas harga Produk dan tingkat Ketidakstabilan Ekonomi.
“Tanpa strategi berbasis data Barang Dagangan yang matang, upaya penegakan hukum justru berisiko menimbulkan gejolak ekonomi dan juga memperlebar ketimpangan Di sektor transportasi Produk,” bilang Akbar Di keterangan resminya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akbar menambahkan, masalah truk ODOl bukan sekadar soal sopir yang melanggar aturan, atau lemahnya pengawasan Di jalan raya. Masalah sesungguhnya berakar sistem persaingan usaha Di sektor Pengiriman yang terlalu liberal, persaingan bebas, dan dibiarkan berjalan tanpa kendali.
“Di Situasi seperti ini, tarif angkutan Produk bergerak bebas tanpa batas bawah dan tanpa regulasi yang mampu menjaga iklim persaingan tetap sehat,” kata Akbar lagi.
Di Ditengah situasi pasar yang begitu Tantangan dan tanpa batas tarif yang wajar, praktik banting harga menjadi hal yang lumrah. Pemilik Produk tentu Akansegera memilih penyedia jasa angkutan paling murah dan operator angkutan pun terpaksa Menyaksikan tarif murah Untuk tetap dapat muatan. Sebab biaya operasional sulit ditekan lagi dan tekanan margin keuntungan yang sangat tipis, satu-satunya cara bertahan yang Dikatakan realistis adalah menambah muatan melebihi kapasitas kendaraan.
“Kartu Kuning ini bukan lahir Di niat melawan hukum, melainkan Di tekanan sistemik, yang memaksa para pelaku usaha mencari celah Untuk bertahan. Ketika tidak ada perlindungan harga dan tidak ada insentif Untuk taat aturan, ODOL pun berubah menjadi solusi diam-diam yang diterima sebagai kelaziman-meski jelas menyalahi hukum,” sambung Akbar.
Sayangnya, kata Akbar, penanganan truk ODOL Di ini hanya menonjolkan pendekatan penegakan hukum Di lapangan, tanpa benar-benar menyentuh akar persoalan ekonominya. Razia dilakukan, Hukuman Politik dijatuhkan, tetapi yang disasar umumnya hanya sopir atau operator kecil. Sambil Itu, pemilik Produk, pemilik armada, atau sistem tarif yang Mendorong terjadinya Kartu Kuning justru luput Di pengawasan. Dampaknya, penindakan terlihat tegas, tapi dampaknya tidak menyentuh jantung masalah.
“Kita sibuk menegakkan hukum Di hilir, tapi abai membenahi regulasi Di hulu, ibarat kata, sibuk menebang ranting-ranting masalah Di hilir, tapi lupa mencabut akar persoalan Di hulu,” sambung Akbar.
Menegakkan Aturan ODOL Di Bawah Bayang-Bayang Ketidakstabilan Ekonomi
Penanganan truk ODOL sering kali terhenti bukan Sebab lemahnya komitmen hukum, melainkan Sebab kekhawatiran pemerintah Di dampak ekonominya. Penegakan aturan secara ketat Akansegera langsung menurunkan kapasitas angkut truk, yang Lalu Mendorong kenaikan ongkos kirim dan biaya Pengiriman secara keseluruhan. Di situasi ini, Fluktuasi Harga Produk Di pasar menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.
“Ketakutan Di efek domino inilah yang membuat pemerintah cenderung berhati-hati, Malahan menahan diri Untuk bertindak tegas. Bukan Sebab takut Di pelaku Kartu Kuning, tetapi Sebab khawatir penertiban serentak justru Akansegera memicu Ketidakstabilan Ekonomi dan mengguncang harga Produk pokok. Risiko ini tentu tidak diinginkan siapa pun, terutama Di pemerintah Ditengah Melakukanupaya menjaga stabilitas harga dan daya beli Komunitas,” ucap Akbar.
Situasi ini menciptakan dilema Aturan. Di satu sisi, pemerintah berkepentingan menegakkan aturan Untuk keselamatan Pemakai jalan dan Untuk menjaga kelayakan dan usia teknis jalan. Di sisi lain, ada tekanan kuat Untuk menjaga stabilitas harga dan kelancaran distribusi Produk. Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan, terutama Di Ditengah sistem Pengiriman nasional yang belum efisien. Malahan Di tingkat pelaksana, kerap muncul pertanyaan praktis: bagaimana jika penegakan hukum terlalu ketat dan justru menyebabkan lonjakan harga sembako atau bahan bangunan?
“Inilah paradoks Di penanganan ODOL, membiarkan Kartu Kuning berarti merelakan jalan rusak dan keselamatan terancam, tapi menertibkan secara serentak dan terlalu ketat juga bisa menimbulkan gejolak ekonomi, Ketidakstabilan Ekonomi. Sebab itu, solusinya bukan Didalam razia besar-besaran Di lapangan, melainkan merancang penegakan hukum yang berbasis data Barang Dagangan-dilakukan secara bertahap, selektif, dan disesuaikan Didalam karakter serta sensitivitas tiap jenis Produk yang diangkut,” ungkap Akbar.
Artikel ini disadur –> Oto.detik.com Indonesia: Tak Bisa Diberantas Secara Instan, Ini Akar Masalah Truk ODOL Di Indonesia